Penulis: Philip Sington
Penerjemah: Salsabila Sakinah
Penerbit: Serambi
Tahun terbit: Mei 2010
Tebal: 525 halaman
‘E’ untuk Elisabeth dan ‘E’ untuk sang Gadis Einstein, begitulah mereka menyebutnya. Tiga puluh tahun setelah wafatnya Albert Einstein—sang ilmuan eksentrik—terungkaplah surat menyurat rahasia antara dirinya dan seorang matematikawati Serbia, Mileva Marić. Hubungan keduanya menyingkap sebuah keberadaan seorang anak haram jadah yang terlahir dua tahun sebelum mereka menikah.
Dua tahun sebelum Adolf Hitler menaiki tilam kekuasaannya, ditemukan seorang gadis tanpa identitas di luar Berlin. Keadaannya nyaris tewas, hingga tubuh separuh raga itu diringkus ke klinik Charité. Ia mengalami amnesia. Tidak mampu mengingat apapun, bahkan namanya sendiri, kecuali satu-satunya petunjuk, yaitu secarik kertas renyuk yang digenggamnya kala ia ditemukan. Carikan kertas itu berisikan pemberitahuan kuliah umum tentang Teori Kuantum oleh Albert Einstein. Surat kabar di Berlin pun lekas memanggilnya dengan julukan ‘The Einstein Girl’.
Psikiater Martin Kirsch menaruh perhatian penuh pada gadis bertajuk E itu. Ia sukses menyelinap di malam pertama, kala gadis itu dirawat dalam kamar pengap di klinik Charité. Semua keterlibatan gadis itu dengan ilmu teori kuantum seakan-akan memanggilnya untuk kembali meratapi kepergian sang saudara lelaki, Max. Tapi di lain pihak, hatinya berkata lain. Ia memiliki kegandrungan tersendiri terhadap gadis itu. Penyelidikannya dimulai, kala mengunjungi rumah sakit jiwa di Zürich; sekadar menjumpai Eduard Einstein, yang nyatanya kerap mengirimi surat kepada pasien E.
The Einstein Girl merupakan sebuah novel misteri yang menciptakan banyak rasa dalam benak pembaca. Diawali dengan kutipan sebuah surat tanpa nama pengirim, Philip Sington secara tidak langsung mengajak para pembaca ke dalam area brain storming. Siapakah Elisabeth? Bahkan setiap mata yang membaca pun ikut bertanya-tanya. Diimbuh dengan latar yang begitu kelam, Berlin di era pasca perang dunia pertama. Plotnya berjalan sedikit lambat, mengumbar banyak fakta mengenai dunia psikiatri dan juga hukum fisika kuantum. Namun, di samping semua itu keberadaan banyak teori dan fakta yang bermunculan sedikit demi sedikit, mengungkap jati diri seorang Elisabeth.
Begitu juga dengan kesan romansa yang menempatkan Kirsch menjadi sebuah dilema dan ambigu. Di satu pihak rasa gandrungnya kepada Mariya (alias pasien E) terasa menggebu-gebu, namun di sisi lain, ia masih memiliki keterikatan dengan tunangannya—Alma Siegel. Romansa pelik dalam The Einstein Girl memang tak terasa kontras jika dibandingkan dengan kesan misteri yang intens, akan tetapi setidaknya, tema asmara yang Sington ungkapkan dapat membuat para pembaca yang jenuh—dijibakui teori-teori ruwet milik Eistein dan Kepler—bertahan untuk menyimak kisah selanjutnya.
Sudut pandang yang diambil oleh Sington dirasa menarik lantaran ia banyak membeberkan sebuah kasus dari sudut pandang karakter yang berbeda; dari kisah lampau Kirsch mengenai Max hingga rivalnya, Eisner yang serta merta merebut pasien E dari tangannya. The Einstein Girl mengangsurkan sebuah komplikasi teori yang maksimum. Terlebih meramu sebuah teka-teki misteri yang dilandaskan pada sebuah fakta mengenai sang jenius Einstein. Plot menantang milik Philip Sington ini sangat cocok untuk menjadi teman berpikir di kala merasa chicklit ringan—si teman minum kopi—sudah tak lagi menggigit.
Dua tahun sebelum Adolf Hitler menaiki tilam kekuasaannya, ditemukan seorang gadis tanpa identitas di luar Berlin. Keadaannya nyaris tewas, hingga tubuh separuh raga itu diringkus ke klinik Charité. Ia mengalami amnesia. Tidak mampu mengingat apapun, bahkan namanya sendiri, kecuali satu-satunya petunjuk, yaitu secarik kertas renyuk yang digenggamnya kala ia ditemukan. Carikan kertas itu berisikan pemberitahuan kuliah umum tentang Teori Kuantum oleh Albert Einstein. Surat kabar di Berlin pun lekas memanggilnya dengan julukan ‘The Einstein Girl’.
Psikiater Martin Kirsch menaruh perhatian penuh pada gadis bertajuk E itu. Ia sukses menyelinap di malam pertama, kala gadis itu dirawat dalam kamar pengap di klinik Charité. Semua keterlibatan gadis itu dengan ilmu teori kuantum seakan-akan memanggilnya untuk kembali meratapi kepergian sang saudara lelaki, Max. Tapi di lain pihak, hatinya berkata lain. Ia memiliki kegandrungan tersendiri terhadap gadis itu. Penyelidikannya dimulai, kala mengunjungi rumah sakit jiwa di Zürich; sekadar menjumpai Eduard Einstein, yang nyatanya kerap mengirimi surat kepada pasien E.
The Einstein Girl merupakan sebuah novel misteri yang menciptakan banyak rasa dalam benak pembaca. Diawali dengan kutipan sebuah surat tanpa nama pengirim, Philip Sington secara tidak langsung mengajak para pembaca ke dalam area brain storming. Siapakah Elisabeth? Bahkan setiap mata yang membaca pun ikut bertanya-tanya. Diimbuh dengan latar yang begitu kelam, Berlin di era pasca perang dunia pertama. Plotnya berjalan sedikit lambat, mengumbar banyak fakta mengenai dunia psikiatri dan juga hukum fisika kuantum. Namun, di samping semua itu keberadaan banyak teori dan fakta yang bermunculan sedikit demi sedikit, mengungkap jati diri seorang Elisabeth.
Begitu juga dengan kesan romansa yang menempatkan Kirsch menjadi sebuah dilema dan ambigu. Di satu pihak rasa gandrungnya kepada Mariya (alias pasien E) terasa menggebu-gebu, namun di sisi lain, ia masih memiliki keterikatan dengan tunangannya—Alma Siegel. Romansa pelik dalam The Einstein Girl memang tak terasa kontras jika dibandingkan dengan kesan misteri yang intens, akan tetapi setidaknya, tema asmara yang Sington ungkapkan dapat membuat para pembaca yang jenuh—dijibakui teori-teori ruwet milik Eistein dan Kepler—bertahan untuk menyimak kisah selanjutnya.
Sudut pandang yang diambil oleh Sington dirasa menarik lantaran ia banyak membeberkan sebuah kasus dari sudut pandang karakter yang berbeda; dari kisah lampau Kirsch mengenai Max hingga rivalnya, Eisner yang serta merta merebut pasien E dari tangannya. The Einstein Girl mengangsurkan sebuah komplikasi teori yang maksimum. Terlebih meramu sebuah teka-teki misteri yang dilandaskan pada sebuah fakta mengenai sang jenius Einstein. Plot menantang milik Philip Sington ini sangat cocok untuk menjadi teman berpikir di kala merasa chicklit ringan—si teman minum kopi—sudah tak lagi menggigit.
(Azura Caelestis de Congleé, DEP Inc. 9 Juli 2012)
2 comments:
Wah, kayaknya keren! ^^ Jadi pengen beli... tapi... *melirik tumpukkan buku yang belum di baca* kayaknya harus menunggu buku yang lain beres dulu deh.
Jadi gini ya resensi buku, kayaknya harus banyak-banyak belajar. Tapi ini buku berat banget, saya buku yang tipis2 aja. Hahahahaha.
@Dikta: Novel ini emang super duper keren, terutama kalau pas membahas tentang ilmu fisika kuantum dan klasiknya. Keren sekali, tapi karena kekerenan itu juga, saia pusing bikin resensinya. Ini buku sebenernya sudah lama terbit, saia dikasih temen sebagai hadiah ultah, tapi baru ditamatkan kemarin (setelah diendapkan selama dua tahun).
Buku yang tipis? Mending membahas yang sejenis Espressologist seperti yang postingan sebelumnya aja, mudah dan asyik.
Post a Comment