Selamat Pagi, Malam: Keterasingan dalam Sebuah Nama



Sembari menunggu senja, kemarin seorang teman mengajak gue menonton sebuah film Indonesia. Tajuknya unik, “Selamat Pagi, Malam”. Yaps. Baru saja menyembul di daftar tayang Blitzmegaplex hari ini. Dan lantaran lagi bosen juga sih, di rumah gak tau pengin ngapain, leyeh-leyeh mungkin sudah terlalu basi kali ya. Jadi, walaupun film Indonesia sering dibilang kurang berbobot, tapi ya, yang ini terlihat berbeda. Apalagi kalau dari tajuk dan juga trailer-nya, mengingatkan gue akan sebuah film beberapa tahun silam, “Jakarta Hati”.

Well, ide “Selamat Pagi, Malam” sesungguhnya sudah terbersit saat melihat sub-judulnya, “In The Absence of The Sun”, yaitu tentang kehidupan yang baru saja dimulai saat malam turun di tengah Kota Jakarta. Walaupun didominasi dengan latar malam, tapi filmnya dibuka dengan sebuah latar pagi hari, kala  ketiga karakter utamanya bercerita tentang hidupnya masing-masing. Nama mereka: Gia (32 tahun), Indri (24 tahun), dan Ci Surya (48 tahun). Setting-nya adalah satu hari yang sama. Dengan tiga konflik dan latar belakang yang berbeda, namun berkelindanan pada kejadian yang tak terduga.

Diceritakan beberapa hari lalu Gia baru saja pulang ke kampung halamannya, setelah menetap selama tujuh tahun di Manhattan, NY. Gia akhirnya memutuskan untuk pulang, tapi selama di rumah ia merasa kalau Jakarta bukan lagi rumahnya. Lantas ia menghubungi Naomi, soulmate-nya di NY dulu yang kini telah menetap di Jakarta. Gia pikir Naomi yang akan ditemuinya adalah Naomi yang dulu, Naomi yang sama-sama gila dalam berpikir, Naomi yang bersemangat dengan kejutan-kejutan yang baru, tapi jauh dari semua bayangan itu, kini Gia malah berhadapan dengan seorang Naomi tengah berkompromi dengan kemunafikan gaya hidup kelas atas Jakarta.

Cerita yang kedua adalah tentang Indri, yang hari itu berulang tahun, berkeinginan untuk meng-upgrade taraf hidupnya agar lebih dari sekadar penjaga handuk di gym. Dan sebagai upayanya, ia lantas mencari laki-laki kaya di aplikasi chatting dan mengajaknya ketemuan di kafe mahal.

Terakhir, namanya Ci Surya, istri dari seorang penguasaha sukses yang baru saja berduka atas kematian suaminya. Walau punya simpanan dan warisan segudang, Ci Surya tak lagi menganggap kalau hidupnya berarti, terlebih saat ia tahu kalau selama ini Koh Surya selingkuh dengan seorang penyanyi bar bernama Sofia.

Berangkat dari tiga status yang berbeda, yang paling gue sukai dari “Selamat Pagi, Malam” adalah bagaimana naskahnya berpindah-pindah, mengiris sekaligus mengkritik apa yang kerap terjadi di tengah masyarakat ibukota. Dari tren Rainbow cake, penggunaan gadget yang kini dianggap sangat krusial, hingga keberadaan telepon genggam yang kini sudah digeser dengan keberadaan smartphone. Dari tiga skenario yang ada, yang paling asyik disimak bagi gue adalah skenario antara Gia dan Naomi. Suka sekali dengan karakter Gia yang bergerak random, bercerita dan beropini dengan keunikan tersendiri di tengah arus jaman yang membawanya terombang-ambing dan kerap membuatnya bertanya, sebenernya ada apa sih dengan kota ini? Di saat semua orang bilang, kalau dia ada di Jakarta, lho kok Jakarta sama sekali tidak seperti di Jakarta ya. Di saat dia bertemu dengan Naomi pun makan yang dimakannya bahkan diimpor langsung dari States, New Zeland, Fiji, dan sederet brand merek negeri tetangga. Lantas, ke mana jati diri Jakarta yang pernah ia cicipi tujuh tahun silam? Jleb banget deh.

Dan setelah diajak berpikir keras dan merasa tersindir berulang-ulang sama skenario Gia dan Naomi. Ada romantis, ada juga konyolnya saat menyimak skenario kedua milik Indri. Kalau ada yang sering mencari teman di jejaring sosial, pasti bakalan kena sindir nih sama skenario kedua. Lucu aja gitu, kadang seringnya gue berpikir kalau tiap orang yang muncul di layar kaca saat diajak ngobrol sungguh memakai topeng dengan jati dirinya, tapi gimana kalau yang terjadi saat adalah kayak skenario milik Indri? Kalau mau tau kelengkapan ceritanya sih lebih baik nonton, yang pasti ini ceritanya tentang seorang cewek yang naif banget. Yang percaya kalau cowok di dunia ini bakal langsung terpikat sama wajahnya tanpa minta timbal balik, tapi namanya juga ibukota, gak ada dong yang namanya gratis. Semuanya perlu dibayar.

Buat skenario ketiga, tentang dunia seorang Ci Surya. Um, ceritanya memang gak banyak mengambil konversasi. Terus sesuai dengan umur Ci Surya yang sudah mencapai sebuah "adult-hood", cerita dan idenya pun berkecimpung di kolam yang sama. Tapi, gue suka dengan momen-momen hening di sini. Mirip kayak film Jepang (lebih tepatnya Lost In Translation) yang kerapnya memperkenalkan sesuatu dari gestur yang dilakukan karakternya, dan satu hal yang bisa diacungi jempol dari skenario ketiga ini, yaitu akting Dayu Wijanto yang keren banget. Di umurnya yang gak lagi muda, dia berani mengambil peran yang unik yang kerap dianggap orang tabu.

Ya, cuma yang sedikit kurang asyiknya sih ada di bagian sensor. Mungkin karena banyak kultur malam yang dianggap “terlalu berani” jadi ada beberapa yang harus disensor deh, tapi kayaknya lembaga sensornya sedikit memberangus ya, akibatnya saat nonton pasti bakal ada adegan yang ke-skip di bagian yang kagok. Duh. Tapi overall, “Selamat Pagi, Malam” worth it banget lho buat ditonton. Idenya berbobot, terus sifatnya bukan menjelaskan, tapi membeberkan, membiarkan pembaca senyum-senyum, tahu kalau dirinya lagi disindir. Terus scoring yang dipilih untuk mewakili tiap scene-nya juga pas banget, kayak acara radio insomnia, yang berangsur-angsur ke tengah malam; bernuansa melankolis dengan sedikit bumbu akustik, tapi kadang ada juga yang berunsur sedikit post-rock mirip lagu-lagunya Explosion In The Sky atau Sigur Ros.

“Selamat Pagi, Malam” sama sekali gak mengecewakan. Dan kalau ada yang bilang kalau film Indonesia kurang berbobot. Eits, nonton dulu “Selamat Pagi, Malam”. Gak perlu adegan jedar-jedor ala laga Hollywood. Film Indonesia masih punya keelokan sendiri tuh dari segi kulturnya yang luar biasa unik.



0 comments:

 

Flickr Photostream


Twitter Updates

Meet The Author