Kesal Merajut Cerita

 
hazelnut latte dan Pulang
Hari itu adalah ketiga kalinya gue menyesap kafein di bulan April. Bukan sebuah rencana. Bukan ingin juga termometer di layar ponsel meroket ke angka 34. Pendeknya, siang berlalu seperti menggodok telur dalam panci.

Panas. Gerah. Dan satu lagi yang masih merisaki hati; rencana syuting pukul lima nanti. Dengan persiapan yang lagi-lagi gue kumandangkan di notes LINE, gak ada satu pun personil yang membaca. Alih-alih, di keesokan hari lupa bawaannya masing-masing.

Sedari pagi muka gue memang sudah kisut. Kurang tidur akibat menulis panjang lebar semalam. Ditambah kabar tentang reflektor yang lupa dibawa ke kampus. Oke, masalah yang satu itu memang sudah berlalu.

Kembali ke sofa personal di pojok gelap Starbucks. Gue memesan hazelnut latte yang memang tidak ada di senarai menu kala itu, tapi khatam di kepala akibat promo bulan lalu. Dengan susu skim, gue memilih tidak senewen dan duduk membaca buku, buku kedelapan di bulan April; Pulang oleh Leila S Chudori.

Semuanya berjalan baik, dan katanya si E bilang dia bakal bertandang ke Starbucks pukul empat nanti supaya kita berangkat bareng ke rumah G, empunya lokasi syuting hari itu. Oke, mari ditunggu.

Tanpa ba-bi-bu, notifikasi muncul di layar ponsel, kala itu sekitar pukul empat. Gue kira semua akan baik-baik saja, E akan datang, mengajak I yang ada di gedung sebelah, kendati G bilang dia pasti pulang telat lantaran syuting dengan tim, tapi tenang, ada abangnya di rumah yang bakal membukakan pintu. Oke. Itu bagus. Tapi lagi-lagi, E, E merajuk dari kemarin, E gak pengin syuting kalau si G belum pulang.

Bisa diatur. Meleset sedikit? Tidak jadi masalah tapi tidak untuk notifikasi mendadak di pukul empat lebih sedikit, janji temu yang seharusnya dilaksanakan E buat ketemu gue di Starbucks malah meleset gak keruan.

Sudah dikontak berkali-kali, E rupanya gak muncul juga batang hidungnya. I yang berada di gedung sebelah saja sampai geregetan menelepon beberapa kali. Masih tidak diangkat. Naga-naganya setelah diselidiki, E ketiduran di indekos sang pacar. Dor. Nikmatnya, sementara gue getir dan menggeser-geser pantat yang mulai tepos melewati dua jam.

Sebelum anfal, E sempat berpesan kalau dia harus bertemu dengan seseorang di kafe M. Pukul enam. Sama seperti jadwal syuting kami yang bakal dilaksanakan saat matahari tenggelam. Bagus. Rupanya tanpa bisik-bisik, ia menyalib prioritas dengan alasan gak enak dengan orang di kafe M.

Mau tidak mau harus pasrah. Gue gak enak dengan I yang sudah bela-bela membolos ke gereja demi syuting. L yang jauh-jauh bakal menggeber gas motornya ke lokasi syuting. Tapi nyatanya, E malah seenak hati menyalib jadwal syuting dengan perkara syuting kloter kemarin.

Antara stress dan geregetan, syuting akhirnya dibatalkan hari itu. Yang tersisa cuma gue dan L, teman gue yang baik hati, yang sama-sama mati gaya kalau mau berbicara janji temu dengan si E.

Tapi, ya kadang segala kekesalan bisa menciptakan sebuah ide. Seperti halnya menulis prosa sembari memangku buku, juga menulis tulisan ini di tengah pukul satu. Kesal selalu punya cerita sendiri untuk dibeberkan.


Anastasia Cynthia
Catatan sebelum tidur (25.4.2014)

0 comments:

 

Flickr Photostream


Twitter Updates

Meet The Author