It's not about yesterday, it's about tomorrow. Dalam keluarga intim gue, mungkin gue keliatan super cuek. Lengkap dengan segala ketidakpedulian gue terhadap seseorang, tapi sebenernya. Boleh dipercaya atau kagak, gue selalu berpikir tentang masa depan. Tentang apa yang akan terjadi lima tahun dari sekarang. Kalo setiap taunnya, orang-orang di dunia membuat new year's resolution. Taun ini pun gue gak kalah pengen mencoba, tapi sayangnya, sekarang. Pas gue nengok ke belakang. Mematut pikir tentang segala yang telah gue tulis dan telah gue targetkan. Gue bertanya, apa semuanya akan terjadi?
Ok. Sebenernya gue bukan menebar sebuah paranoia tentang masa depan--memohon sesuatu yang buruk terjadi. Tapi, mungkin gue bisa dibilang terlalu antisipasi. Gue selalu dibayang-bayangi sebuah pemikiran bahwa masa depan itu buruk. Minggu lalu, gue merencanakan kalo Sabtu ini gue pengen pergi ke acara dance buat nonton performance temen. Eh, tapi gak taunya papa gue sakit.
Ketakutan itu seakan-akan merongrong gue. Membuat gue susah buat memejamkan mata. Beribu-ribu doa yang gue panjatkan. Bukan hanya seorang. Adek gue yang nampak apatis biasanya, sekarang bisa menangis. Mengucurkan air mata dan bersimpuh di bawah kaki Tuhan.
Sebulan sebelum papa dirawat, beliau sempat bercerita tentang sebuah planning di masa depan. Sungguh. Gue beneran ketakutan dengernya. Masalahnya adalah soal mau dan gak mau memijaki sebuah tanah baru yang jauh dari comfort zone.
Semua itu memang belom terjadi. Gue masih beriman kepada Tuhan. Selalu berdoa syafaat dan membaca Mazmur 91 dengan segenap hati. Tapi ada sebuah cerita pendek yang selalu berkelebat di otak gue. Kalo gue bayangin sekali lagi. Kadang gue bisa tertawa, walau terakhirnya gue menangis.
Selama seminggu gue mencoba buat memendam itu. Terus menulis proyek La Dolce Vita itu sekalipun di otak gue, gue sama sekali gak bisa memikirkan tentang kejadian dari scene fan fiksi itu lagi. Tapi, nyatanya dua hari yang lalu gue gak bisa membiarkan simpulan cerita itu pergi. Gue memutuskan buat menuliskan itu menjadi sebuah cerita.
A Campbell Story; bukan cerita sekuel dari Whisper. Namun, sebuah pemikiran gue tentang masa depan. Kadang orang bisa bilang kalo cerita ga mungkin sedramatisir sebuah sinet atau tampilan opera, tapi nyatanya semua ketakutan itu memang mirip sebuah kisah melodrama.
Gue meng-alter-ego-kan diri gue sebagai seorang Elizabeth Campbell. Cerita Campbell sendiri bukan sebuah cerita bernarator tapi mirip sebuah diari. Diari lusuh seorang gadis di mana ia harus merantau ke sebuah negara yang antah berantah di matanya. Kehidupannya yang mapan seolah diputarbalikkan semudah membalikkan telapak tangan. Banyak filosofi hidup yang akan tertuang.
Latar utamanya adalah Portland, Orgeon. Tapi gue bakal mengambil latar khusus di sebuah kota, di selatan Ukraina. Negara yang sama sekali gak terkenal. Tapi memang justru itulah kriteria utama di mana keluarga Campbell harus bermukim.
Gue gak mengharapkan cerita ini ditulis sampe end. Gue hanya menuangkan apa yang ada di otak gue, jadi otomatis ceritanya bakal minim dialog hehehe :)
0 comments:
Post a Comment