Started on: January 26, 2013
Finished on: February 2, 2013
Judul buku : Winter Dreams “Perjalanan Semusim Ilusi”
Pengarang : Maggie Tiojakin
Taun Terbit : Desember 2011
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal halaman : 291 halaman
Rating : 5/5
Nicky
F. Rompa, bukan bocah kikuk kesayangan ayah. Dicerca, diolok, bahkan
hendak dibelikan gincu merah. Memang hanya Nicky yang tahan dengan sikap
ayah. Ibu mangkir bersama Shahnaz, adik perempuannya, beberapa tahun
lalu. Dan kini, malah menyuruh anak remaja lelakinya itu pergi melarikan
diri ke negeri antah berantah. Siapa lagi yang tahan dengan sikap ayah?
Tidak ada. Nicky, seorang remaja delapan belas tahun, tidak perlu izin
atau sekadar berpamit dengan ayah. Kedatangannya di Boston serta-merta
disambut hangat oleh keluarga Tante Riesma dan suaminya, Frank. Mereka
memiliki seorang anak perempuan, Leah. Juga jangan lupakan kekasihnya
yang bernama Richard itu.
Melandaskan langkah pertama di pelipir
Boston; hidup Nicky seolah mengaras sebuah kebebasan. Ya, mungkin itu
yang dicarinya selama ini? Diuliknya hingga ke kolong ranjang, tapi
takkan terwujud seandainya ia bersikukuh menetap di rumah ayah.
Dibalut overcoat tebal,
agaknya di sanalah perjalanan Nicky F. Rompa dimulai. Mencucuh satu
batang rokok hingga rokok kretek berikutnya, sembari bekerja di toserba
mini milik imigran asal Vietnam, Mr. Fong. Nicky bertemu dengan sesosok
jelita di suatu siang, sembari bertukar senda dengan Leah, Polina, si
pemilik pinggang lencir itu datang bersama seorang pemuda Rusia, Yuky.
Polina
tak mengenal status dalam sebuah relasi. Mungkin saja ia benar menyukai
Yuky, tapi mungkin saja tidak. Hingga senyuman hangat itu mencuat di
pelipir bibirnya, memagut bibir Nicky di tengah dentum musik trance. Akhirnya, Nicky tahu, apa yang selama ini dimaksud Reno, si Raja Porno – tetangga berbagi gentengnya itu.
Hubungan
Nicky dan Polina berlangsung indah. Kepalang fantastis, rasanya. Mulus,
merangkak satu per satu, dan tak heran kalau kedua orang tua Polina
menyukai Nicky. Tapi sekonyong-konyong saja ada satu hal yang ganjil
pada diri Polina. Bibirnya tergugu, menyulut rokok dalam diam, tak
berani memandang wajah Nicky. Polina hamil. Ia jelas lebih
berpengalaman; Nicky tak tahu apa-apa selain bercumbu dan menyenangkan
hati perempuan itu. Keduanya sepakat untuk tidak berbicara, menggugurkan
kandungan itu dan bertukar cerita lain seolah tak ada yang terjadi
sebelumnya.
Nicky memang berhasil lolos, tapi Leah balas
menikamnya dari belakang. Sepupu perempuannya tak terlihat selugu yang
ia kira. Tak sengaja Leah membuat Tante Riesma kecewa. Mempradugai Nicky
hingga menendangnya keluar rumah. Nicky menginap di rumah Polina
sementara. Tanpa tujuan, tapi masih ada satu yang dicarinya; mimpi dan
kesempatan. Dua hal yang pernah ditanyakan Mr. Fong di sela kelakarnya
soal nostalgia. Pria senja itu memang tak benar-benar memosisikan Nicky
sebagai imigran illegal, tanpa tujuan selain melarikan diri dari
kenyataan.
“Winter Dreams” memang patut diberi sub-judul bertajuk
“perjalanan semusim ilusi”, Maggie Tiojakin mengemasnya seperti catatan
perjalanan. Tidak tergesa-gesa, tidak terlalu lambat, semuanya di-setting sangat
pas. “Winter Dreams” memang dibagi menjadi lima buku ringkas di
dalamnya. Dimulai pro-kontra Nicky untuk menetap bersama ayah, sang ayah
yang memiliki kekasih baru, hingga bogem mentahnya yang melandas di
sudut mulut Reno lantaran tetangga comel itu mengadukan tindakan ayah
kepada ibu. Nicky dikirim ke Boston, mencari sebuah kesempatan dan
peruntungan di sana. Banyak kelebihan dari segi penceritaan yang dapat
dipetik di dalamnya. Kisah yang dituangkan pun tidak terkesan berat,
malah banyak mengaduk-aduk kontemplasi. Memberi pencitraan urbanis;
Nicky yang kerap bergonta-ganti pasangan; sikapnya yang tidak cengeng,
benar-benar dituangkan menjadi karakter yang siap untuk ditempa oleh
warga kosmopolit.
Hibrida elok lainnya boleh ditilik dari segi
latar dan suasana. Maggie Tiojakin, yang mengaku pernah menetap di ranah
Boston, secara tidak langsung menginterpretasikan segala sesuatunya
menjadi latar yang sangat unik. Jika dibandingkan dengan “Balada
Ching-Ching”, “Winter Dreams” terkesan lebih kokoh dari segi narasi.
Penuh dengan hal-hal manis, seolah-olah pembacanya ikut terjun ke
hadapan gedung Au Bon Pain. Menyesap secangkir kopi, sembari mencium
tengik rokok, dan juga menggigit roti panas. Ada berbedaan kontras
antara keduanya, tapi tetap terkesan klasik dan tidak terduga di akhir
cerita.
“Winter Dreams” memang tidak menghadirkan sebuah klimaks
drastis di tengah atau pun penghujung cerita. Tidak seperti balada epik,
anekdot, atau kisah lainnya yang membuat membacanya takjub sekaligus
tercengang. Memoar Nicky F. Rompa ibarat riak air. Tenang, terkadang
bergelombang sedikit, tapi satu hal yang perlu diingat; tidak sebegitu
mudahnya dilewatkan.
Didukung ilustrasi sampul yang menarik oleh
Staven Andersen, esensi “Winter Dreams” tak ayal terbetik dalam warna
kuning sayu. Memang judulnya tertulis kata “winter” tapi tidak sebagian besar setting cerita
dilatarbelakangi suasana musim dingin. Boleh saja diandaikan seperti
pertemuan Nicky dan Polina yang dilingkupi dinginnya salju Boston, tapi
pemuda itu tak hentinya mencari arti mimpi sejatinya dalam perjalannya
mengarungi pelosok Boston.
Dari skor lima; empat didedikasikan
untuk plot dan ide yang amat brilian. Satu bintang lainnya diberikan
untuk sampul cantik yang sangat sarat pesan dan makna. “Winter Dreams”,
bacaan yang cocok untuk menemani waktu senggang dan berpikir, tidak
berpikir mengenai kepenatan hidup, tapi sedikit menyusut ke hal yang
paling mendasar; mimpi dan tujuan.
Azura Caelestis de Conglee
Bandung, 2 Februari 2013
0 comments:
Post a Comment