Menunggu, Ditunggu; Menghargai, Dihargai

Ada red velvet latte; ada juga novel keenam bulan ini



Agaknya itu cangkir kedua yang khatam setelah nyaris satu jam berlalu. Bukan haus, tapi deleguk tak sabar, gue hanya bisa berdecak tiga kali sambil membaca pesan. Masalahnya ya, partner gue, si A sudah telat untuk kesekian kali. Bukan satu kali lho. Tapi sekian kali, setelah sebelumnya dia berhasil meyakinkan gue untuk 'ditunggu'. Momen itu yang selalu gue pertanyakan; ditunggu. Ibarat jaman iseng dulu, gue yang selalu angkat topik di sms, tapi kali ini gue ingin status itu berbalik. Seperti halnya pertemuan minggu lalu, gue berusaha untuk lelet dan berleyeh-leyeh mematut baju, yakin kalau si A pasti akan gusar, duduk, membuka LINE sembari naik pitam.

Tapi ups, nyatanya gue malah tersangkut bersama novel keenam di bulan itu. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Entah karena alpa, apkir atau pikun kali ya?

Bukan si A aja lho... ada B, C, D, dan E yang setipe di jurusan gue. Yang selalu dateng dengan langkah tergopoh-gopoh, tersenyum santer, seolah gue baru saja duduk lima menit lalu. Duh.

Mau marah, percuma, kayak gue gak tahu aja perangainya. Paling cuma batin, bukan batin dengan si A, tapi batin dengan moral bangsa yang lama-kelamaan sudah tidak bisa menghargai waktu dan kesempatan.

"Sudah mau keluar, baru cari WC", seperti yang selalu dibilang mama. Entah menganggap sepele atau bagaimana. Sering gue juga yang berinisiatif untuk mengajak B, C, D, E menggelar janji temu atas nama tugas. Mencicil kan lebih baik daripada nonton serial teve semalam suntuk sebelum minggu tenang. Tapi, ada aja teman yang protes ke gue, kok lu bisa tahan sih jadi 'setrikaan', mangkir, bolak-balik Angkasa Putra (tempat digital printing) buat ngerampungin tugas?

Bukan kunci Inggris atau golok Madura kali ya jawabannya. Gue cuma gak pengin panik di lini akhir. Setidaknya kalau sibuk duluan, gue bisa santai duluan juga. Tidak mengutip kata-katanya Green Day, Nice Guy Finish Last, ya ... kalau bapak-bapak anda pemilik toko digital printing, tentu tidak masalah. 24 jam standby buat mencetak segala keperluan proof print.

Tapi nyatanya, rencana-rencana "proof print" dalam tugas lain bisa saja tergusur akibat prioritas masing-masing. Dari awalnya menggelar janji di hari Rabu, eh dengan alasan religius bin fanatiknya, B menceletuk paling pertama, katanya sih harus geladi resik buat acara Paskah di gereja. Padahal kan Paskah baru saja nyeberang minggu lalu ya. Lantas, C juga gak mau kalah, demi alasan solideritas yang tinggi, pengin nonton Z yang ikut kontes Miss Kampus di aula atas. Dan sudah janji mau nonton. Duh, padahal ... anda-anda sekalian lho yang menetapkan harinya.

Gue sih seharian cuma duduk di balik layar komputer. Mingkem sembari berlagak tolol membolos kuliah lantaran mempersiapkan tugas yang bakal terlompat. Tapi coba simak, dari jam 7 lalu gue standby dan memotong kertas, bergumam bakal masuk telat, jam 11, si C memaksa kalau temannya yang Miss Kampus itu hakikinya lebih tinggi buat diperjuangkan.

"Maaf ya, Ching," ujarnya. Terpaksa acara temu hari itu gatot alias gagal total.

Keyboard agaknya perlu sesekali gue kunyah. Batin untuk entah keberapa-puluh kalinya.

Dari tukang becak sampai pejabat, katanya ingin dihargai, tapi menghargai waktu dan janji saja sulit setengah mati.



Anastasia Cynthia
Catatan sebelum tidur (23.04.2014)

0 comments:

 

Flickr Photostream


Twitter Updates

Meet The Author